Senin, 06 Desember 2010

CIVIL SOCIETY

PENDAHULUAN
Masyarakat madani (civil society) pada awalnya merupakan sebuah konsep filsafat berkenaan dengan sistem kenegaraan. Secara historis, konsep ini bermula dari pemikiran Aristoteles yang kemudian dikembangkan oleh Markus Tulius Cicero, seorang filosof romawi kuno (106-43 SM). Ia memunculkan istilah societies civilies, sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain dalam konsep negara kota. Konsep kenegaraan ini dimaksudkan untuk menggambarkan kerajaan kota dan bentuk korporasi lainnya sebagai kesatuan yang terorganisir. Dalam tradisi eropa, hingga abad XVIII, pengertian civil society dianggap memiliki pengertian sama dengan pengertian negara (state), yaitu suatu kelompok yang menguasai kelompok lain (Adeng Muchtar Gazali, 2004: 107).
Munculnya konsep civil society di Eropa tidak dapat dilepaskan dari munculnya konsep natural society. Konsep ini adalah suatu konsep tentang masyarakat dimana mereka hidup secara alamiah yang belum mengenal hukum, kecuali hukum alam. Untuk mengatasi hal yang tidak menentu yang memungkinkan adanya pertentangan antar kelompok atau antar individu kemudian rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada suatu badan yang disebut sebagai negara. Badan ini kemudian berkembang dan mempunyai kekuasaan yang sangat besar yang mampu mengontrol semua kehidupan masyarakat. Kekuatan dan hukum alam kemudian digantikan dengan kekuatan dan hukum politik yang dikenal dengan political society. Menurut teori kaum liberal, civil society bukanlah natural society dan bukan pula political society, namun suatu tatanan masyarakat yang didasarkan kepada hak-hak dari manusia (civil right), seperti hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak untuk memiliki dan lain-lain (Kutut Suwondo, 2005: 11-12).



PEMBAHASAN
A. Makna Civil Society
Istilah civil society pertama kali dipakai di Eropa pada abad ke-18, sebagai terjemahan dari bahasa latin societas civilis yang untuk beberapa bahasa pada waktu itu diartikan sebagai state dan political society atau seluruh kenyataan yang menyangkut politik. Locke menterjemahkan civil society sebagai civil government, Kant menterjemahkannya sebagai burgerliche gesellschaft, dan Rousseau menterjemahkannya sebagai e’tat civil (Kutut Suwondo, 2005: 11).
Konsepsi modern tentang civil society pertama kali dipakai oleh Hegel dalam Philosophy of Right pada tahun 1821. Dia menyebutkan bahwa “Civil society is sphere of ethical life interposed between the family and the state”. Definisi ini kemudian dikembangkan Larry Diamond (1994) yang mengartikan bahwa “Civil society is realm of organized social life that is voluntary, self generating, self supporting, autonomous from the state, and bound by legal order or set of shared rules”. Dengan demikian, pandangan teori liberal tentang civil society pada hakikatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemoni Negara (Kutut Suwondo, 2005: 12).
Schulte Nordholt (1999) merangkum civil society kedalam empat aspek utama, yaitu: Pertama, adanya pertanggungjawaban Negara. Kedua, keterbukaan atau transparansi. Ketiga, pengakuan terhadap hak asasi manusia. Dan, keempat, inklusivitas. Dengan demikian pandangan ini pada hakikatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemoni negara. Didalam hal ini memang dapat terjadi suatu hegemoni yang dilawan dengan hegemony counter, namun tidak berarti bahwa state dan society harus selalu bertentangan. Yang dituju adalah suatu bentuk keseimbangan antara kekuasaan negara dan kedaulatan rakyat (Kutut Suwondo, 2005: 13).
Di Indonesia, civil society sering diterjemahkan dengan masyarakat madani --masyarakat warga atau kewargaan-- kemudian ada juga yang menterjemahkannya sebagai “masyarakat sipil”. Masing-masing terjemahan tersebut mengandung agenda tersembunyi sesuai dengan kehendak yang menggunakan istilah tersebut . (Kutut Suwondo, 2005: 13).
Terjemahan civil society menjadi masyarakat madani pertama kali dikemukakan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim untuk mensifati masyarakat yang sudah memiliki peradaban maju. Istilah madani sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan istilah tamadun atau peradaban. Dengan demikian, civil society atau masyarakat madani dapat diartikan kota peradaban atau masyarakat kota, suatu masyarakat yang beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, penegakan nilai-nilai demokrasi, dan penghormatan terhadap hak-hak manusia (Adeng Muchtar Gazali, 2004: 108).
Beberapa pakar di Indonesia menterjemahkan civil society dengan masyarakat warga atau masyarakat kewargaan. Di dalam hal ini, Hikam (1996) mengartikan bahwa civil society adalah kenyataan dari kehidupan sosial yang terorganisasi yang bersifat sukarela, swadaya, swasembada, dan terbebas dari tekanan negara yang terikat oleh hukum yang berlaku. Dengan demikian, pandangan ini pada hakikatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemoni negara. Makna dari civil society ini mengandung konotasi adanya masyarakat yang beradab (civilized society) yang lebih menganut aturan-aturan yang berkaitan dengan sistem hukum daripada kepada aturan yang bersifat otoriter yang menindas. Dengan demikian, pandanagan ini menganggap civil society sebagai suatu gerakan rakyat untuk membebaskan diri dari hegemoni Negara (Kutut Suwondo, 2005: 14).
Beberapa pakar di berbagai Negara juga memberikan definisi tentang masyarakat madani berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Zbiniew Rau dengan latar belakang kajiaannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet mengemukakan bahwa masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Dari latar belakang kasus Korea Selatan, Han Sung-joo mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society ini. Dari latar belakang yang sama dengan Han Sung-joo, Kim Sunhyuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari (re) produksi dan masyarakat politik mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri (Dede Rosyada dkk., 2003: 238-240).

B. Karakteristik Masyarakat Madani
Adeng Muchtar Gazali (2004: 110) mengemukakan ciri-ciri yang harus melekat pada masyarakat madani, yaitu:
1. Adanya kemandirian yang tinggi, baik individu maupun kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
2. Adanya ruang publik yang bebas (free public sphere) untuk mengemukakan pendapat, terutama berkaitan dengan kepentingan publik.
3. Penegakan demokrasi dan keadilan sosial (social justice).
4. Tegaknya supremasi hukum.
5. Pluralis dan toleran.

C. Kegagalan Memaknai Civil Society
Pandangan para ahli tentang civil society yang cenderung ingin mengurangi kekuasaan dan campur-tangan Negara (terutama di Indonesia), mempunyai dua kelemahan utama. Pertama, adalah adanya kebebasan penuh individual dan kelompok yang memungkinkan munculnya suatu dominasi masyarakat tertentu, seperti kelompok borjuis atau kapitalis terhadap masyarakat banyak. Dengan mengurangi peran Negara, civil society akan mengarah kepada pengagungan rezim pasar bebas dimana konsep free fight liberalism diberlakukan. Dalam kondisi semacam ini maka tidak heran kalau kemudian muncul dominasi kelompok masyarakat tertentu, seperti kaum borjuis, kaum kapitalis, kelompok birokrat, kelompok militer, dan lain-lain. Kedua, adalah besarnya kemungkinan akan munculnya sisi gelap dari sifat manusia, seperti destruktif, anti-demokratis, tidak adil, bahkan tindakan yang secara universal tidak benar (Kutut Suwondo, 2005: 16-17).

D. Pilar Penegak Masyarakat Madani
Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik (Dede Rosyada dkk., 2003: 250-252).
1. Lembaga Swadaya Masyarakat; adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas.
2. Pers; merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warganegaranya.
3. Supremasi Hukum; setiap warga negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum. Supremasi hukum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia, sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
4. Perguruan Tinggi; yakni tempat dimana civitas akademiknya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada rel dan realitas yang betul-betul objektif, menyuarakan kepentingan masyarakat (public).
5. Partai Politik; merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendensi politis dan rawan akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai sebuah tempat ekspresi politik warganegara, maka partai politik ini menjadi prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani.

E. Toleransi Beragama
Dalam civil society, kebebasan merupakan nilai yang paling berharga. Eksistensi kehidupan manusia akan lenyap seiring lenyapnya kebebasan dari diri manusia. Salah satu kebebasan yang harus dihargai adalah kebebasan menganut agama dan keyakinan (freedom of conscience). Gagasan kebebasan beragama dalam masyarakat madani ini dimunculkan oleh John Locke. Gagasan Locke mengenai toleransi beragama sejalan dengan pandangannya tentang perjanjian masyarakat dan wewenang kekuasaan negara. Dalam pandangan Locke, negara tidak memiliki hak mencampuri persoalan keyakinan individual atau kehidupan beragama seseorang. Agama merupakan keyakinan subjektif individu dan hanya individu bersangkutan yang berhak mendefinisikan benar tidaknya keyakinan yang dianutnya. Campur tangan negara terhadap persoalan keberagaman individu bertentangan dengan hak-hak manusia yang paling dasar dan melanggar asas kebebasan berkeyakinan (freedom of conscience).
F. Masyarakat Madani dan Demokratisasi
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi (demokratisasi), menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam masyarakat madani yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat berkembang secara wajar. Dalam konteks ini, Nurcholis Madjid pun memberikan metafor tentang hubungan dan keterkaitan antara masyarakat madani dengan demokratisasi ini. Menurutnya masyarakat madani merupakan “rumah” persemaian demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah Pemilihan Umum (Pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demorasi harus mempunyai “rumah”, maka rumahnya adalah masyarakat madani (Dede Rosyada dkk., 2003: 252-253).
Menyikapi keterkaitan masyarakat madani dengan demokratisasi ini, Larry Diamond secara sistematis menyebutkan ada 6 (enam) kontribusi masyarakat madani terhadap proses demokrasi. Pertama, ia menyediakan wahana sumberdaya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara. Kedua, pluralisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis. Ketiga, memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat, ikut menjaga stabilitas Negara. Kelima, tempat menggembleng pimpinan politik. Keenam, menghalangi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim. Lebih jauh Diamond menegaskan bahwa suatu organisasi betapapun otonomnya, jika ia menginjak-injak prosedur demokrasi–seperti toleransi, kerja sama, tanggung jawab, keterbukaan dan saling percaya—maka organisasi tersebut tidak akan mungkin menjadi sarana demokrasi (Dede Rosyada dkk., 2003: 253).


















PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya, civil society adalah sesuatu yang harus ditegakkan dalam suatu negara, terutama dalam demokratisasi. Karena peranannya yang sangat penting dalam menunjang demokratisasi. Dalam civil society terdapat beberapa pilar penting yang mengarah pada tertunjangnya demokratisasi, antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik, yang masing-masing memiliki fungsi yang relatif sama, yaitu sebagai social control terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.













DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, Adeng Muchtar. 2004. Civic Education, Pendidikan Kewarganegaraan Perspektif Islam. Bandung : Benang Merah Press.
Rosyada Dede, dkk. 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic Education). Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Suwondo, Kutut. 2005. Civil Society di Aras Lokal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.